Hati Menangis dan Bibir Tersenyum

Jika ada yang mengatakan bahwa “ hati wanita sangat sulit diselami” rasanya itu benar seratus persen.  Terkadang karena suatu sebab dan  lain hal, seorang wanita terpaksa menyembunyikan keadaan /suasana hatinya di depan umum. “hati menangis, tapi bibir tersenyum” sanggupkah kaum pria melakoninya? Saya tidak mengatakan hanya kaumku yang piawai menerapkan ilmu mumpuni itu, kaum Adam pun ada juga yang mampu melakukannya, hanya saja sepertinya mayoritas kaum Hawa .

Pernahkah anda, khususnya kaum Hawa berada pada situasi seperti ini “hati menangis namun bibir tersenyum?” Saya yakin  tidaklah mudah bagi kita bersikap demikian.  Sebab menurut hematku, jika ada bagian dari tubuh kita yang sakit, secara otomatis semua ”sahabat-sahabatnya” yang lain akan ikut terpengaruh dan turut berpatisipasi merasakannya.

Suatu penghargaan yang setinggi-tingginya kuhaturkan kepada mereka yang sanggup menerapkan ilmu yang kusebut “ilmu kendali diri” ini  dengan sempurna. Yang pasti aku sendiri merasa sangat kesulitan menjalankannya, yang ada malah “hati menangis, airmata mengalir, mulut terkunci  dan kaki tangan mogok menjalankan tugasnya”

Lantas, timbul pertanyaan : Manakah yang lebih baik, menyembunyikan kesedihan kita kepada si  pembuat  sedih dan orang-orang sekitar kita, dengan cara  seolah tak terjadi apa-apa atau mengemukakannya secara jujur apa yang kita rasa dengan  siap menghadapi  segala resiko, misalnya pertengkaran  dan mungkin  akan menyakiti dan menempatkan si ‘dia’  pada posisi yang serba salah.

Jika alternative pertama  yang jadi pilihan, tentu si pembuat sedih sampai kapan pun tidak akan mengetahui derita kita. Dengan demikian siap-siaplah kita memperpanjang waktu berharga kita dengan serentetan kesedihan sampai seluruh “sahabat-sahabat” hatimu mengajukan protes dan beraksi anarkis.

Kata orang,mayoritas wanita-wanita Jawa sangat pandai “berolah rasa”. Mengapa hanya wanita Jawa saja yang dikaruniakan sifat seperti itu? bukankah bahan dasar hati setiap manusia sama, yaitu segumpal daging bukan batubata, atau tanah liat? Mungkin  faktor lingkungan juga mempunyai andil yang menentukan cara berpikir dan bersikap seseorang.  Apa pun itu, tak seorang pun manusia yang bercita-cita memilih kesedihan dalam hidupnya. Semua orang berhak bahagia, bukan?

Timbul kembali pertanyaan. Jika seseorang tak pernah merasakan kesedihan tentu dia pun tak akan mengerti akan arti kebahagiaan. sebab kesedihan dan kebahagiaan ibarat dua belah mata pisau yang saling bersisian. Tinggal bagaimana cara kita mengolah kedua rasa yang bertolak belakang tersebut agar selaras dalam kehidupan kita?

Suka dan duka, Bahagia dan Penderitaan adalah rangakaian kehidupan yang harus kita jalani.  Cara setiap personal menghadapinya tentu berbeda-beda.  Berharap penderitaan seminimal mungkin menghampiriku.  Kalau pun harus kuterima jua, semoga dapat kuhadapi dengan bijak. Salam bahagia di pagi ini…….

Tinggalkan komentar